Selasa, 05 Juni 2012

ANDRAGOGI


Dalam kesempatan obrolan dengan orang yang lebih tua, sering kita jumpai kalimat, “Halah, saya ini sudah tua, sudah nggak paham kalau disuruh belajar”. Sehingga, banyak yang mengira bahwa orang dewasa sudah tidak potensial lagi untuk belajar, tapi kenyataannya tidaklah demikian. Orang dewasa masih berpotensi, tergantung pada metode yang diterapkan dalam belajar dan mengajar si orang dewasa tersebut.

Dalam kesempatan lain, mungkin pernah juga kita jumpai kalimat, “Halah, kamu ini masih kecil, tahu apa? Saya lebih paham”. Orang dewasa umumnya telah memiliki kematangan konsep dan berpengalaman (termasuk pengalaman berbuat salah). Secara psikologis, memiliki kecenderungan ingin dipandang, dihargai dan diperlakukan sebagai pribadi yang independen telah mampu melaksanakan konsepnya itu. Orang dewasa merasa telah memiliki jatidiri dan telah menjadi “dirinya”. Karenanya, akan sulit bagi kita untuk merobohkan konsepnya yang telah tertanam bertahun-tahun, bila tidak disertai bukti dan cara pemberian pemahaman yang tepat atas konsepnya itu.

Dua paragraf di atas adalah contoh, sebagai dasar munculnya konsep mendidik orang dewasa yang dikenal dengan Andragogi, yaitu proses untuk melibatkan peserta didik dewasa ke dalam suatu struktur pengalaman belajar. Semula cara mendidik orang dewasa disamakan dengan cara mendidik anak-anak di bangku pendidikan formal (pedagogi). Akan tetapi, terdapat perbedaan penting antara orang dewasa dan anak-anak, sehingga andragodi terpisah menjadi ilmu sendiri. Istilah andragogi ini awalnya digunakan oleh Alexander Kapp, seorang pendidik dari Jerman, di tahun 1833, dan kemudian dikembangkan menjadi teori pendidikan orang dewasa oleh pendidik Amerika Serikat, Malcolm Knowles [wikipedia.com].

Dalam andragogi, mendidik bukan berarti menggurui, bukan mengisi mereka dengan pengetahuan tapi sebagai bentuk kerjasama saling meningkatkan pengetahuan, dan menempatkan orang dewasa sebagai subjek bukan objek. Andragogi mempelajari sifat fisik, psikis dan karakter orang dewasa.

Secara filosofis, Konfusius mengemukakan tiga hal penting terkait dengan fisik dan psikis manusia, antara lain : “saya dengar dan saya lupa, saya lihat dan saya ingat, saya lakukan dan saya mengerti”. Artinya, mejadikan orang dewasa terlibat langsung secara fisik dan emosional akan memudahkan tersampaikannya pesan yang kita maksud.

Meskipun variatif dan cara mengekspresikan emosinya berbeda-beda, kelemahan orang dewasa adalah mudah tersinggung. Sangat penting untuk menjadikan orang dewasa jangan tersinggung dengan menghindari perilaku merendahkan, mengecewakan dan mempermalukan. Orang dewasa justru akan senang bila dimotivasi dan dibuat senang. Sikap menghargai ini, akan memudahkan masuknya pesan yang ingin disampaikan.

Orang dewasa tidak menyukai hal-hal teoritis dan cenderung menyukai sesuatu yang praktis sesuai peran sosialnya (pekerjaan, tanggung jawab, kebutuhan). Andragogi biasanya dimanfaatkan oleh profesi yang bersentuhan langsung dengan masyarakat seperti penyuluh, fasilitator, motivator, politikus dan profesi lain.

Barangkali secara personal kita pernah gagal mempengaruhi orang dewasa atau yang lebih dewasa dari usia kita, agar orang tersebut mau melakukan sesuatu. Kemungkinan jawabannya adalah kita belum memahami kondisi fisik, psikis dan karakter orang dewasa. Setelah memahami orang dewasa, penting juga bagi kita untuk belajar berinteraksi sesuai yang dikemukakan oleh James Borg dalam kutipan bukunya yang berjudul Buku Pintar Memahami Bahasa Tubuh, bahwa “bukan tentang apa yang anda katakan, tetapi bagaimana cara mengatakannya”.

Andragogi adalah proses untuk melibatkan peserta didik dewasa ke dalam suatu struktur pengalaman belajar. Istilah ini awalnya digunakan oleh Alexander Kapp, seorang pendidik dari Jerman, pada tahun 1833, dan kemudian dikembangkan menjadi teori pendidikan orang dewasa oleh pendidik Amerika Serikat, Malcolm Knowles (24 April 1913 -- 27 November 1997).

Andragogi berasal dari bahasa Yunani , yaitu “aner” yang berarti orang dewasa, dan “agogos” yang berarti memimpin yang berarti mengarahkan orang dewasa dan berbeda dengan istilah yang lebih umum digunakan, yaitu pedagogi yang asal katanya berarti mengarahkananak-anak.
Teori Knowles tentang andragogi dapat diungkapkan dalam empat postulat sederhana:
1.     Orang dewasa perlu dilibatkan dalam perencanaan dan evaluasi dari pembelajaran yang mereka ikuti (berkaitan dengan konsep diri dan motivasi untuk belajar).
2.     Pengalaman (termasuk pengalaman berbuat salah) menjadi dasar untuk aktivitas belajar (konsep pengalaman).
3.     Orang dewasa paling berminat pada pokok bahasan belajar yang mempunyai relevansi langsung dengan pekerjaannya atau kehidupan pribadinya (Kesiapan untuk belajar).
4.     Belajar bagi orang dewasa lebih berpusat pada permasalahan dibanding pada isinya (Orientasi belajar).
Istilah andragogi telah digunakan untuk menunjukkan perbedaan antara pendidikan yang diarahkan diri sendiri dengan pendidikan melalui pengajaran oleh orang lain.
Publikasi Malcolm Knowles, lewat bukunya The Adult Leaner adalah model andragogi sebagai teori belajar yang tepat untuk orang dewasa.
Empat konsepsi pokok andragogi yang tertuang dalam buku tersebut antara lain :
1.      Perubahan dalam konsep diri (self concept), yaitu seseorang tumbuh dan matang konsep dirinya bergerak dari ketergantungan total menuju ke pengarahan diri alias mandiri.
2.      Peranan pengalaman, individu tumbuh matang dan mengumpulkan banyak pengalaman, dalam hal ini menyebabkan dirinya menjadi sumber belajar yang kaya dan pada waktu yang sama memberikan dasar yang luas untuk belajar sesuatu yang baru.
3.      Kesiapan belajar, tiap individu menjadi matang maka belajar kurang ditentukan oleh paksaan akademik dan perkembangan biologiknya, tetapi lebih ditentukan oleh tuntutan tugas perkembangan untuk peranan sosialnya.
4.      Orientasi belajar, orang dewasa berkecenderungan memiliki orientasi belajar yang berpusat pada pemecahan problem-problem kehidupan (problem centered orientation).
Langkah-langkah agar menjadi mahasiswa yang berkualitas dapat dilakukan dengan mengetahui informasi lebih awal, adanya kesadaran waktu, pergaulan dan kegiatan (sosialisasi) dan pendewasaan berpikir. Oleh karena itulah setiap kampus perguruan tinggi punya peran masing-masing dalam membentuk mahasiswanya baik melalui kegiatan, pergaulan maupun pembelajaran-pembelajaran yang tidak diperoleh di dalam kelas. Lebih bersifat ke arah pengembangan diri daripada pengembangan akademis.
Sebagai mahasiswa yang diharapkan mampu menjadi generasi penerus pemimpin bangsa, maka dalam setiap aktivitas akademik maupun non akademik tetap mengutamakan rasa tanggung jawab baik belajar dan kreativitasnya.



Tidak ada komentar:

Search This Blog